07 Juni 2009

Kisah sebuah jam

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. "Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?" "Ha?," kata jam terperanjat, "Mana sanggup saya?" "Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?" "Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?" jawab jam penuh keraguan. "Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?" "Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu" tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya. Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam. "Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?" "Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!" kata jam dengan penuh antusias. Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali. Renungan : Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa berat. Namun sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya, kita ternyata mampu. Bahkan yang semula kita anggap impossible untuk dilakukan sekalipun. Itu tergantung bagaimana kita menyiasati pekerjaan dan tugas kita, bila kita bisa bagi2 menjadi fragmen-fragmen yang kecil. Jangan berkata "tidak" sebelum Anda pernah mencobanya.

06 Juni 2009

Supaya Diurus Allah

Bila Allah menjadikan lahir kita patuh kepada perintah-Nya, dan bila Allah menjadikan hati kita bulat hanya kepada Allah semata, sesungguhnya itu karunia Allah yang paling besar. Karena nikmat yang paling lezat adalah tersingkapnya hijab (penghalang) di hati untuk yakin kepada Allah, dan lahir kita sempurna berikhtiar. Tubuh dan akal hendaknya dibimbing ikhtiar dengan sempurna, seperti yang dicontohkan sunnah Rasulullah saw. Hati yakin jika tubuh tidak sempurna berikhtiar, tidak akan terasa nikmat. Sebaliknya jika hati tidak yakin, meski tubuh ikhtiar, juga tidak nikmat. Maka, yang harus diyakini hati pertama kali adalah meyakini benar, bahwa Allah memilih kita hidup untuk patuh kepada-Nya. Selanjutnya, juga meyakini Allah akan mengurus diri ini. Bila hal tersebut dipenuhi, pasti segala keperluan kita akan diurus Allah. Sebaiknya kita mendekati saja Allah yang dapat mengurus kita. Mau rapat (meeting) misalnya, tidak akan menghasilkan apa-apa bila tidak dibimbing Allah. Urusan apa pun bila tidak sungguh-sungguh meminta pertolongan Allah akan terasa sulit, termasuk rezeki. Ingatlah, hanya Allah yang memiliki dan hanya Allah pula yang tahu di mana letak rezeki tersebut. Bila tidak dibimbing Allah, ikhtiar kita akan acak dan cemas memikirkan di mana rezeki berada. Belum lagi bila tidak bertemu, yang tentu saja bukan karena tidak ada jatahnya. Sekali lagi, bila bersungguh-sungguh, Insya Allah kita akan bertemu dengan apa yang dijatahkan Allah. Alhasil, kita merasa tenang dan nyaman. Karena sudah janji Allah, sebagaimana firman-Nya, ”Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad [47]: 7). Ayat ini sangat jelas mengabarkan bahwa pekerjaan apapun bila tidak disertai tawakal, sengsara yang didapat. Lalu, apakah takdir rezeki bisa diubah? Jawabannya bisa, bila ada hubungannya dengan takdir yang lain. Yang bisa mengubah takdir itu adalah doa. Kekuatannya terletak pada taubat dan syukur. Mungkin saja awalnya kita tidak mempunyai takdir haji karena tidak memiliki uang. Tapi karena rajin berdoa dan shalat, rezeki haji bisa dari mana saja. Maka, merasa khawatir akan rezeki, boleh jadi termasuk syirik khafi (halus). Atau merasa cemas hingga bergantung kepada orang lain. Hal ini bisa menutup pintu rezeki kita. Lebih baik bila hidup dituntun Allah. Kita harus belajar dari Rasulullah, bagaimana beliau menjadi pribadi yang sempurna tawakalnya dan sempurna pula tubuhnya melakukan ikhtiar. Wallahu a`lam bisshawab. Sumber : Aa Gym (www.cybermq. com)